Kewajiban mendidik secara tegas di nyatakan dalam pirman Allah dalam surat At-Tahrim ayat 6 ,sbb : “Yaa ayyuhaladzina amanu ku anfusikum wa ahlikum nar” “Wahai orang-orang yang beriman peliharalah diri dan keluargamu dari api neraka “(QS. At -Tahrim : 6).
Perkataan Qur’an di sini adalah kata kerja perintah atau fiel amar yaitu suatu kewajiban yang hams di tunaikan oleh kedua orangtua terhadap anaknya.
Kedua orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama bagi anaknya.karena sebelum oranglain mendidik anak ini,kedua orangtuanyalah yang mendidik terlebih dahulu .Bila kita telaah secara mendalam ,memang benar apabila tanggung jawab pendidikan terletak di tangan kedua orang tua dan tidak dapat di pikulkan kepada orang lain,kecuali apabila orang tua merasa tidak mampu melakukan sendiri ,maka bolehlah tanggung jawabnya di serahkan kepada orang lain misalnya dengan cara di sekolahkan.
Tanggung jawab pendidikan yang perlu di sadarkan dan di bina oleh kedua orang tua terhadap anak antara lain:
a.Memelihara dan membesarkannya merupakan tanggung jawab orang tua
berupa dorongan alami untuk di laksanakan ,karena anak memerlukan
makan ,minum dan perawatan ,agar dia dapat hidup secara berkelanjutan
b.Melindungi dan menjamin kesehatannya baik secara jasmaniah maupun
rohaniah dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya lingkungan yang
dapat membahayakan dirinya.
c.Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
berguna bagi hidupnya ,sehingga apabila ia telah dewasa ia mampu berdiri
sendiri dan menbantu orang lain .(hablum minanas) serta melaksanakan
kekhalifahannya.
d.Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan memberinya
pendidikan agama sesuai dengan ketentuan allah sebagai tujuan akhir
hidup seorang muslim,tanggung jawabini di kategorikan sebagai tanggung
jawab kepada allah.
adapun Cara Mendidik Keluarga
Cara pendidikan anak dapat di tempuh pula dengan menimbulkan kesadaran berkeluarga,yaitu ia adalah salah satu anggota keluarga di dalam rumahnya.
Ia mempunyai ayah dan ibu serta saudara(kakak atau adik) sekandung banyak pembinaan kepribadian anak yang di lakukan oleh kedua orang tua terhadap anaknya dengan ajaran agama yang berkesinambungan ini dapat di lakukan maka ia dapat di harapkan akan menjadi seorang anak yang kelak akan menjadi manusia yang berkepribadian muslim.Ia akan baik dengan tetangga dan teman sepergaulan atau dengan orang lain akan dalam bermasyarakat di mana ia tinggal.
Dewasa ini para ahli didik mengakui besarnya peranan ibu dalam mendidik anak-anaknya ,kalangan ibu atau wanita di golongkan kepada kaum yang lemah.Meskipun demikian secara kerohanian wanita adalah mahluk allah yang kuat dalam pendirian dan prinsip hidup dalam keluarga. Melalui belaian tangan,ciumannya serta kata-katanya yang lemah lembut anak dengannya.Anak merasa dekat dan lebih sayang kepadanya di bandingkan kedekatan kepada ayahnya. oleh Sigmund freud ,kedekatan anak (laki-laki) ini kepada ibunya di angkat menjadi teori Qodipus complex.Anak sebagai manusia kecil yang sedang menuju ke arah perkembangannya yang sempurna tidak luput dari beberapa tingkah laku dan sikapnya yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga.
Gangguan akibat pertumbuhan dan perkembangan ini adalah wajar ,namun hubungan kekeluargaan. Beberapa sifat dan sikap yaog mungkin muncul itu antara lain di kemukakan oleh Dr.Sis Heyster dalam bukunya Tahun 1998 ilmu jiwa anak dari masa muda dan juga oleh Cryn dan Reksosiswoyo sebagai berikut: keras hati,keras kepala,manja,merajuk,berkata gagap ,ingin menang sendiri ,frustasi dan gangguan anak yang disebut infant terrible.sifat tingkah laku yang di tampilkan anak-anak di atas terutama oleh anak yang berusia sebelum sekolah antara 3 dan 5 tahnn di bawah ini hanya di bicarakan beberapa buah saja yaitu dusta,gagap dan infant terrible.
dan adapun Upaya keluarga dalam mendidik anak usia Dini (balita)
a.Tidak bersikap memanjakan yang berlebihan jika anak kita sedang menangis tidak
langsung di gendong.
b.Dalam hal mendiamkan anak yang sedang menangis hendaknya di dihindari
dengan cara menakut-nakutiTindakan menakut-nakuti ini akan membentuk sifat
penakut terhadap anak.
c.Dalam hal menyusui anak ,hendaknya di usahakan tidak melewati usia
dua tahun.
d Ajarkan kata-kata pendek yang yang mengandung didikan agama
seperti nama tuhan ,kitab suci dan Iain-lain.
e.Saat memberi makanan ,biasakan orangtua membaca doa dengan suara agak di
keraskan agar anak dapat mendengar ,dan di harapkan dia akan menirunya.
g. Membiasakan cinta kebersihan
h. Tidak raemarahi apalagi membentak atau berkata kasar jika ana merusak barang
yang di rumah.yang perlu kita bina adalah rasa segan anak terhadap orang lain,
i. Ada baiknya hari kelahiran anak di peringati dengan maksud Mendidik anak untuk
mensyukuri nikmat hidup dari tuhan,mendidik anak untuk bermasyarakat ,dengan
dia berkumpul bersama teman-temannya.
j. Dalam banyak hal orang tua harus mampu berperan sebagai guru yang
patut di patuhi dan di turuti oleh anak-anaknya.
Sejauh mana peran orang tua sebagai pendidik terhadap anak yang
berusia TK ini (balita).
a.Orang tua mulai menjelaskan kepada anak bahwa kini dia dapat
menjadi siswa.Dengan begitu anak di minta untuk tidur dan bangun
pada jam yang di tentukan,agar anak mulai di tanamkan rasa
disiplin,menghargai waktu.
b.Ketika anak harus ke sekolah ,seyogyanya tidak selalu harus diantar
,kecuali hari-hari pertama saja,ini di maksud agar anak terlatih.
c.Orang tua harus dapat mengikuti perkembangan anak beserta hasil
belajarnya.
d.Harus memberikan pujian dan penghargaan terhadap prestasi belajar
anak.pemberian hadiah merupakan sesuatu yang membanggakan dan
merupakan kepuasan sendiri.
e.Harus memberikan pujian dan penghargaan terhadap prestasi belajar
anak.pemberian hadiah merupakan sesuatu yang membanggakan dan
merupakan kepuasan sendiri.
f.Orang tua tidak melakukan tindakan yang berlawanan dengan apa
yang di lakukan oleh guru anak kita.
Daftar pustaka
Desmita , 1998 Psikologi perkembangan pergaulan ,.hj.Samsununyati Spsi;
Penerbit PT. Remaja posda
Makmun ,Abu syamsudin WlXfsikologi pendidikan
Subino 1982 ,Bimbingan skripsi, Bandung : ABAYAPARI
baca selanjutnya..
foto que
Senin, 28 Maret 2011
mendidik anak berdasarkan kaca mata agama islam
**Pahami anak sebagai individu yang berbeda. Seorang anak dengan yang lainnya memiliki karakter yang berbeda. Memiliki bakat dan minat yang berbeda pula. Karenanya, dalam menyerap ilmu dan mengamalkannya berbeda satu dengan yang lainnya. Sering terjadi kasus, terutama pada pasangan muda, orangtua mengalami ?sindroma? anak pertama. Karena didorong idealisme yang tinggi, mereka memperlakukan anak tanpa memerhatikan aspek-aspek perkembangan dan pertumbuhan anak. Misal, anak dipompa untuk bisa menulis dan membaca pada usia 2 tahun, tanpa memerhatikan tingkat kemampuan dan motorik halus (kemampuan mengoordinasikan gerakan tangan) anak.
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (At-Taghabun: 16)
Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Apabila aku melarangmu dari sesuatu maka jauhi dia. Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka tunaikanlah semampumu. (HR. Al-Bukhari, no. 7288)
Kata مَا اسْتَطَعْتُمْ (semampumu) menunjukkan kemampuan dan kesanggupan seseorang berbeda-beda, bertingkat-tingkat, satu dengan lainnya tidak bisa disamakan. Ini semua karena pengaruh berbagai macam latar belakang.
** Memberi tugas hendaklah sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.(Al-Baqarah: 286)
**Berusahalah untuk selalu menghargai niat, usaha dan kesungguhan anak. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, tapi Allah melihat kepada hati (niat) dan amal-amal kalian. (HR. Muslim no. 2564)
Jangan mencaci maki anak karena kegagalannya. Tapi berikan ungkapan-ungkapan yang bisa memotivasi anak untuk bangkit dari kegagalannya. Misal, ‘Abi tidak marah kok, Ahmad belum hafal surat Yasin. Abi tahu, Ahmad sudah berusaha menghafal. Lain kali, kita coba lagi ya.?
** Tidak membentak, memaki dan merendahkan anak. Apalagi di hadapan teman-temannya atau di hadapan umum. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
‘Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.’ (An-Nisa`: 5)
** Tidak membuka aib (kekurangan, kejelekan) yang ada pada anak di hadapan orang lain. Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ?anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa menutup (aib) seorang muslim, Allah akan menutup (aib) dirinya pada hari kiamat. (HR. Al-Bukhari no. 2442)
** Jika anak melakukan kesalahan, jangan hanya menunjukkan kesalahannya semata. Tapi berilah solusi dengan memberitahu perbuatan yang benar yang seharusnya dia lakukan. Tentunya, dengan cara yang hikmah. ?Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu berkata:
كُنْتُ غُلَامًا فِي حِجْرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
Saat saya masih kecil dalam asuhan Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam, saya menggerak-gerakkan tangan di dalam nampan (yang ada makanannya). Lantas Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam menasihatiku, Wahai ananda, sebutlah nama Allah (yaitu bacalah Bismillah saat hendak makan). Makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari makanan yang ada di sisi dekatmu. (HR. Al-Bukhari no. 5376)
** Tidak memanggil atau menyeru anak dengan sebutan yang jelek. Seperti perkataan: Dasar bodoh! Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
Janganlah kalian menyeru (berdoa) atas diri kalian kecuali dengan sesuatu yang baik. Karena, sesungguhnya malaikat akan mengaminkan atas apa yang kalian ucapkan. (HR. Muslim no. 920)
** Perbanyak ucapan-ucapan yang mengandung muatan doa pada saat di hadapan anak. Seperti ucapan:
بَارَكَ اللهُ فِيْكُمْ
Semoga Allah memberkahi kalian.
Allah Subhanahu wa Ta?ala berfirman:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia. (Al-Baqarah: 83)
Juga selalu mendoakan kebaikan bagi sang anak, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta?ala:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Dan orang-orang yang berkata: Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqan: 74)
** Berusahalah untuk senantiasa berlaku hikmah dalam menghadapi masalah anak. Tidak mengedepankan emosi. Tidak mudah menjatuhkan sanksi. Telusuri setiap masalah yang ada pada anak dengan penuh hikmah, tabayyun (klarifikasi). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. (Al-Baqarah: 269)
**Berusahalah bersikap adil terhadap anak-anak dan berbuat baik kepadanya.
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.’(An-Nahl: 90)
** Hindari sikap-sikap dan tindakan yang menjadikan anak mengalami trauma, blocking (mogok), malas atau enggan belajar. Sebaliknya, ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، بَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا
‘Permudah dan jangan kalian persulit. Gembirakan, dan jangan kalian membuat (mereka) lari.’ (HR. Al-Bukhari no. 69)
Wallahu a’lam.
Diambil dari : www.asysyariah.com baca selanjutnya..
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (At-Taghabun: 16)
Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Apabila aku melarangmu dari sesuatu maka jauhi dia. Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka tunaikanlah semampumu. (HR. Al-Bukhari, no. 7288)
Kata مَا اسْتَطَعْتُمْ (semampumu) menunjukkan kemampuan dan kesanggupan seseorang berbeda-beda, bertingkat-tingkat, satu dengan lainnya tidak bisa disamakan. Ini semua karena pengaruh berbagai macam latar belakang.
** Memberi tugas hendaklah sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.(Al-Baqarah: 286)
**Berusahalah untuk selalu menghargai niat, usaha dan kesungguhan anak. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, tapi Allah melihat kepada hati (niat) dan amal-amal kalian. (HR. Muslim no. 2564)
Jangan mencaci maki anak karena kegagalannya. Tapi berikan ungkapan-ungkapan yang bisa memotivasi anak untuk bangkit dari kegagalannya. Misal, ‘Abi tidak marah kok, Ahmad belum hafal surat Yasin. Abi tahu, Ahmad sudah berusaha menghafal. Lain kali, kita coba lagi ya.?
** Tidak membentak, memaki dan merendahkan anak. Apalagi di hadapan teman-temannya atau di hadapan umum. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
‘Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.’ (An-Nisa`: 5)
** Tidak membuka aib (kekurangan, kejelekan) yang ada pada anak di hadapan orang lain. Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ?anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa menutup (aib) seorang muslim, Allah akan menutup (aib) dirinya pada hari kiamat. (HR. Al-Bukhari no. 2442)
** Jika anak melakukan kesalahan, jangan hanya menunjukkan kesalahannya semata. Tapi berilah solusi dengan memberitahu perbuatan yang benar yang seharusnya dia lakukan. Tentunya, dengan cara yang hikmah. ?Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu berkata:
كُنْتُ غُلَامًا فِي حِجْرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
Saat saya masih kecil dalam asuhan Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam, saya menggerak-gerakkan tangan di dalam nampan (yang ada makanannya). Lantas Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam menasihatiku, Wahai ananda, sebutlah nama Allah (yaitu bacalah Bismillah saat hendak makan). Makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari makanan yang ada di sisi dekatmu. (HR. Al-Bukhari no. 5376)
** Tidak memanggil atau menyeru anak dengan sebutan yang jelek. Seperti perkataan: Dasar bodoh! Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
Janganlah kalian menyeru (berdoa) atas diri kalian kecuali dengan sesuatu yang baik. Karena, sesungguhnya malaikat akan mengaminkan atas apa yang kalian ucapkan. (HR. Muslim no. 920)
** Perbanyak ucapan-ucapan yang mengandung muatan doa pada saat di hadapan anak. Seperti ucapan:
بَارَكَ اللهُ فِيْكُمْ
Semoga Allah memberkahi kalian.
Allah Subhanahu wa Ta?ala berfirman:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia. (Al-Baqarah: 83)
Juga selalu mendoakan kebaikan bagi sang anak, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta?ala:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Dan orang-orang yang berkata: Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqan: 74)
** Berusahalah untuk senantiasa berlaku hikmah dalam menghadapi masalah anak. Tidak mengedepankan emosi. Tidak mudah menjatuhkan sanksi. Telusuri setiap masalah yang ada pada anak dengan penuh hikmah, tabayyun (klarifikasi). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. (Al-Baqarah: 269)
**Berusahalah bersikap adil terhadap anak-anak dan berbuat baik kepadanya.
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.’(An-Nahl: 90)
** Hindari sikap-sikap dan tindakan yang menjadikan anak mengalami trauma, blocking (mogok), malas atau enggan belajar. Sebaliknya, ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، بَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا
‘Permudah dan jangan kalian persulit. Gembirakan, dan jangan kalian membuat (mereka) lari.’ (HR. Al-Bukhari no. 69)
Wallahu a’lam.
Diambil dari : www.asysyariah.com baca selanjutnya..
Alimul Fadhil H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari (Guru Sekumpul) pernah menyinggung dan menguraikan pembahasan tentang salah satu tema yang selalu aktual diperbincangkan dalam dunia tasawuf, yakni wacana tentang ‘Nur Muhammad’ dalam salah satu pengajian beliau di Komplek al-Raudah Sekumpul Martapura. Untuk membutiri kembali pandangan tentang Nur Muhammad dimaksud seiring dengan peringatan haul beliau yang ke-5 tahun ini (5 Rajab 1431 H ─ 17 Juni 2010 M) berikut tulisan ini dihadirkan guna pencerahan. Apakah yang dimaksud dengan Nur Muhammad tersebut?
Dalam kitab Hikayat Nur Muhammad diceritakan bahwa tubuh manusia (anak Adam) mengandungi tiga unsur, yakni jasad, hati dan roh. Di dalam roh terdapat hakikat, di dalam hakikat tersimpan rahasia, rahasia itulah yang dinamakan makrifah Allah. Di dalam makrifah pula ada zat yang tidak menyerupai sesuatu pun. Rahasia atau makrifah Allah ini dinamakan Insan Kamil. Insan Kamil dijadikan dari Nur yang melimpah dari zat Haqq Ta’ala.
Menurut riwayat, sumber cerita tentang kejadian Nur Muhammad ini bermula dari biografi Nabi Muhammad yang ditulis oleh Ibnu Ishaq (sejarawan Islam). Dalam biografi tersebut, Ibnu Ishaq ada mencatat riwayat yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan Nur Muhammad dan Nur itu telah diwarisi melalui generasi nabi-nabi hingga ia sampai kepada Abdullah bin Abdul Muthalib dan turun kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian terdapat sejumlah hadis yang menerangkan tentang Nur tersebut, antaranya, “sesungguhnya yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah cahaya-ku (Nur Muhammad)………”. Beragam pandangan terhadap hadis ini, ada yang menyatakan maudhu’ (tertolak), dhaif (lemah), bersumber dari falsafah Yunani, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa riwayat tersebut boleh diterima karenanya sanadnya bersambung.
Hadis tersebut cukup panjang matannya dan diringkas sebagai berikut: “Dan telah meriwayatkan oleh Abdul Razak dengan sanadnya dari Jabir bin Abdullah ra, beliau berkata: “Ya Rasulullah, demi bapaku, engkau dan ibuku, khabarkanlah daku berkenaan awal-awal sesuatu yang Allah telah ciptakan sebelum sesuatu! Bersabda Nabi Saw: “Ya Jabir, sesungguhnya Allah menciptakan sebelum sesuatu, Nur Nabi-mu daripada Nur-Nya’. Maka jadilah Nur tersebut berkeliling dengan Qudrat-Nya sekira-kira yang dihendaki Allah. Padahal tiada pada waktu itu lagi sesuatu pun; tidak ada lauh mahfuzh, qalam, sorga, neraka, Malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin dan manusia; tiada apa-apa yang diciptakan, kecuali Nur ini.
Dari nur inilah kemudian diciptakan-Nya qalam, lauh mahfuzh dan Arsy. Allah kemudian memerintahkan qalam untuk menulis, dan qalam bertanya, “Ya Allah, apa yang harus saya tulis?” Allah berfirman: “Tulislah La ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Atas perintah itu qalam berseru: “Oh, betapa sebuah nama yang indah dan agung Muhammad itu, bahwa dia disebut bersama Asma-Mu yang Suci, ya Allah.” Allah kemudian berkata, “Wahai qalam, jagalah kelakuanmu ! Nama ini adalah nama kekasih-Ku, dari Nur-nya Aku menciptakan arsy, qalam dan lauh mahfuzh; kamu, juga diciptakan dari Nur-nya. Jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan apa pun.” Ketika Allah telah mengatakan kalimat tersebut, qalam itu terbelah dua karena takutnya akan Allah dan tempat dari mana kata-katanya tadi keluar menjadi tertutup, sehingga sampai dengan hari ini ujung nya tetap terbelah dua dan tersumbat, sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia ilahiah yang agung. Maka, jangan seorangpun gagal dalam memuliakan dan menghormati Nabi Suci, atau menjadi lalai dalam mengikuti contohnya (Nabi) yang cemerlang, atau membangkang dan meninggalkan kebiasaan mulia yang diajarkannya kepada kita.………dan seterusnya.
Bagaimana penjelasan Guru Sekumpul tentang Nur Muhammad tersebut? Secara ringkas penjelasan beliau sebagaimana konten materi pengajian yang bertemakan tentang ‘Kesempurnaan’ (penjelasan ini bahkan beliau ulang-ulang tidak kurang dari tiga kali) boleh diringkaskan sebagai berikut:
Beliau memulai penjelasannya dengan ungkapan yang sangat dikenal dalam dunia tasawuf, di mana untuk mengenal Tuhan seseorang harus terlebih dahulu mengenal akan dirinya. Maksudnya, untuk sampai kepada pengenalan terhadap Tuhan, menurut Guru Sekumpul haruslah terlebih dahulu dipahami dua hal. Pertama, ia harus terlebih dahulu mengenal asal mula akan kejadian dirinya sendiri, dari mana, di mana dan bagaimana ia dijadikan? Kedua, ia harus terlebih dahulu mengetahui apa sesuatu yang mula-mula dijadikan oleh Allah Swt. Kedua perkara di atas menjadi prasyarat kesempurnaan bagi para penuntut (salik) dalam mengenal (makrifah) kepada Allah.
Adapun yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah Nur Muhammad Saw yang kemudiannya dari Nur Muhammad inilah Allah jadikan roh dan jasad alam semesta. Bermula dari Nur Muhammad inilah maka sekalian roh (dan roh manusia) diciptakan Allah sedangkan jasad manusia diciptakan mengikut kepada dan dari jasad Nabi Adam as. Karena itu, Nabi Muhammad Saw adalah ‘nenek moyang roh’ sedangkan Nabi Adam as adalah ‘nenek moyang jasad’. Hakikat dari penciptaan Adam as sendiri adalah berasal dari tanah, tanah berasal dari air, air berasal dari angin, angin berasal dari api, dan api itu sendiri berasal dari Nur Muhammad. Sehingga pada prinsipnya roh manusia diciptakan berasal dari Nur Muhammad dan jasad atau tubuh manusia pun hakikatnya berasal dari Nur Muhammad. Jadilah kemudian ‘cahaya di atas cahaya’ (QS. An-Nuur 35), di mana roh yang mengandung Nur Muhammad ditiupkan kepada jasad yang juga mengandung Nur Muhammad. Bertemu dan meleburlah kemudian roh dan jasad yang berisikan Nur Muhammad ke dalam hakikat Nur Muhammad yang sebenarnya. Tersebab bersumber pada satu wujud dan nama yang sama, maka roh dan jasad tersebut haruslah disatukan dengan mesra menuju kepada pengenalan Yang Maha Mutlak, Zat Wajibul Wujud yang memberi cahaya kepada langit dan bumi, dan yang semula menciptakan, sebagaimana mesranya hubungan antara air dan tumbuhan, di mana ada air di situ ada tumbuhan, dan dengan airlah segala makhluk dihidupkan (QS. Al-Anbiya 30). Pengenalan terhadap hakikat Nur Muhammad inilah maqam atau stasiun yang terakhir dari pencarian akan makrifah kepada Allah, Martabat Nur Muhammad inilah martabat yang paling tinggi, dan pengenalan akan Nur Muhammad inilah yang menjadi ‘kesempurnaan ilmu atau ilmu yang sempurna’.
Menarik untuk mengkaji ulang penjelasan Guru Sekumpul di atas dengan membandingkannya kepada penjelasan tokoh-tokoh tasawuf yang juga membahas dan menyinggung tentang wacana ini.
Al-Hallaj yang mencetuskan teori hulul misalnya menyatakan bahwa Nur Muhammad mempunyai dua bentuk, yakni Nabi Muhammad yang dilahirkan dan menjadi cahaya rahmat bagi alam “tidaklah engkau diutus wahai (Muhammad Rasulullah Saw) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam” (martabat al-a’yanu’l Kharijiyyah) dan yang berbentuk Nur (martabat a’yanu’l Thabitah). Nur Muhammad adalah cahaya semula yang melewati dari Nabi Adam ke nabi yang lain bahkan berlanjut kepada para imam maupun wali; cahaya melindungi mereka dari perbuatan dosa (maksum); dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tentang rahasia-rahasia Illahi. Allah telah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam as. Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan makhluk lainnya, bahwa: “Inilah makhluk Allah yang paling mulia”. Oleh itu, harus dibedakan antara konsep Nur (Muhammad) sebagai manusia biasa (seorang Nabi) dan Nur Muhammad secara dimensi spiritual yang tidak dapat digambarkan dalam dimensi fisik dan realiti.
Menurut sufi, Muhyiddin Ibn Arabi, Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melalui Nur ini pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada semua nabi, tetapi hanya kepada Ruh Muhammad saja diberikan jawami al-qalim (firman universal).
Sedangkan menurut pencetus teori ‘insan kamil’, Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428 M) dalam karyanya, al-Insan al-Kamil fî Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Mengetahui Allah Sejak Awal hingga Akhirnya), menyatakan bahwa Nur Muhammad memiliki banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh dan malak apabila dikaitkan dengan ketinggiannya. Tidak ada kekuasaan makhluk yang melebihinya, semuanya tunduk mengitarinya, karena ia kutub dari segenap malak. Ia disebut al-Haqq al Makhluq bih, (al-Haqq sebagai alat pencipta), hanya Allah yang tahu hakikatnya secara pasti. Dia disebut al-Qalam al-A’la (pena tertinggi) dan al-Aql al-Awal (akal pertama) karena wadah pengetahuan Tuhan terhadap alam maujud, dan Tuhanlah yang menuangkan sebagian pengetahuannya kepada makhluk. Adapun disebut al-Ruh al-Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada kaitannya dengan ruh al-Quds (ruh Tuhan), al-Amin (ruh yang jujur) adalah karena ia adalah perbendaharaan ilmu tuhan dan dapat dipercayai-Nya. Oleh itu, menurut Al-Jili, lokus tajalli al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak sebelum alam ini ada, ia bersifat qadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga dalam bentuk nabi penutup (khatamun nabiyyin), Muhammad Saw.
Banyak lagi penjelasan dan pembahasan tentang Nur Muhammad dimaksud. Karena, memang sejak awal kedatangan dan perkembangan Islam di ‘Bumi Nusantara’, wacana Nur Muhammad dalam berbagai konteksnya sehingga sekarang, telah menarik perhatian umat Islam. Hal ini paling tidak didukung oleh tiga faktor.
Pertama, terlihat dari banyaknya salinan yang beredar pada masa itu berkenaan dengan ‘Hikayat Nur Muhammad’ Misalnya, Hikayat Nur Muhammad naskah Betawi yang disalin pada tahun 1668 M oleh Ahmad Syamsuddin Syah. Menurut Ali Ahmad (2005) sehingga sekarang, sekurang-kurangnya terdapat tujuh versi Hikayat Nur Muhammad.
Kedua, apresiasi terhadap konsep Nur Muhammad telah mendorong lahirnya karya klasik ulama Nusantara yang secara khusus berisikan pembahasan tentang teori ini. Antaranya adalah kitab Asrar al-Insan fi Makrifah al-Ruh wa al-Rahman karya Nuruddin al-Raniri (Aceh), tiga kitab karangan Hamzah Fansuri (Barus-Aceh); Asrar al-‘Arifin, Syarab al-‘Asyiqin, dan al-Muntahi, serta Nur al-Daqa’iq oleh Syamsuddin al-Sumaterani (Pasai). Dalam kitab Asrar al-Insan dijelaskan bahwa Allah menjadikan Nur Muhammad dari tajalli (manifestasi) sifat Jamal-Nya dan Jalal-Nya, maka jadilah Nur Muhammad itu khalifah di langit dan di bumi; Nur Muhammad adalah asal segala kejadian di langit dan di bumi. Di dalam kitab Asrar al-’Arifin dibincangkan teori wahdah al-wujud yang semula diperkenalkan oleh Abdullah Arif dalam Bahr al-Lahut dan Ibnu Arabi, kemudian dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri melalui teori Martabat Tujuh dalam kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Kemudian, dalam al-Muntahi, Hamzah menyatakan bahwa wujud itu satu yaitu wujud Allah yang mutlak. Wujud itu bertajalli dalam dua martabat; ahadiyah dan wahidiyah. Dalam kitab Nur al-Daqa’iq juga dibahas tentang wujudiyah dan martabat tujuh.
Variasi teori Nur Muhammad dalam bentuk martabat tujuh boleh didapati pembahasannya dalam beberapa kitab yang ditulis oleh ulama Melayu Nusantara, antaranya adalah dibahas dalam kitab Siyarus Salikin yang dikarang oleh Syekh Abdul Shamad al-Palimbani; kitab Manhalus Syafi (Uthman el-Muhammady, 2003) yang dikarang oleh Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani; Pengenalan terhadap Ajaran Martabat Tujuh yang dikarang atau dinukilkan kepada Syekh Abdul Muhyi Pamijahan; dan kitab al-Durr al-Nafis yang di karang oleh Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Oleh itu, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dengan kitabnya Al-Durr al-Nafis ditegaskan oleh Wan Mohd Shagir Abdullah (2000) sebagai salah seorang ulama Banjar penganjur ajaran tasawuf Martabat Tujuh di Nusantara.
Dalam teori martabat tujuh dipahami bahwa dunia manusia merupakan dunia perubahan dan pergantian, tidak ada sesuatu yang tetap di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah, memudar, dan setelah itu akan mati. Oleh karena itulah, manusia ingin berusaha mengungkap hakikat dirinya agar dapat hidup kekal seperti Yang Menciptakannya. Untuk mengungkap hakikat dirinya, manusia memerlukan seperangkat pengetahuan batin yang hanya dapat dilihat dengan mata hati yang ada dalam sanubarinya. Seperangkat pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu ma‘rifatullah. Ilmu ma’rifatullah merupakan suatu pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah. Ilmu ma‘rifatullah terbahagi menjadi dua macam, yaitu ilmu ‘makrifat tanzih’ (transeden) dan ‘ilmu makrifat tasybih’ (imanen). Tuhan menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut martabat tanzih (la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata, tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dengan martabat ketujuh disebut martabat tasybih (ta‘ayyun atau martabat nyata, terinderawi). Yakni, martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Wahidiyyah (ke-’ada’-an asma yang meliputi hakikat realitas keesaan); Keempat, martabat Alam Arwah; martabat Alam Mitsal; martabat Alam Ajsam (alam benda); dan martabat Alam Insan.
Ketujuh proses perwujudan di atas, keberadaannya terjadi bukan melalui penciptaan, tetapi melalui emanasi (pancaran). Untuk itulah, antara martabat tanzih (transenden atau la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata) dengan martabat tasybih (imanen atau ta‘ayyun atau martabat nyata) secara lahiriah keduanya berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama. Seorang Sâlik yang telah mengetahui kedua ilmu ma‘rifatullah, baik Ma‘rifah Tanzih (ilmu yang tak terinderawi) maupun Ma‘rifah Tasybih (ilmu yang terinderawi), ia akan sampai pada tataran tertinggi, yaitu tataran rasa bersatunya manusia dengan Tuhan atau dikenal dengan sebutan Wahdatul-Wujûd. Huaian tersebut dapat dianalogikan dengan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara lahiriah merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada hakikatnya ombak itu berasal dari air laut sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah.
Ketiga, di Nusantara, Hikayat Nur Muhammad merupakan teks yang populer sekitar abad ke-14 M. Ini dibuktikan dengan tersebar luasnya kitab yang berjudul Tarjamah Maulid al-Mustafa bertahun 1351 M (Ali Ahmad, 2005), dan disinggungnya wacana ini dalam kitab Taj al-Muluk, Qishah al-Anbiya, Bustan al-Salatin, atau Hikayat Ali Hanafiah.
Membandingkan apa-apa yang digambarkan oleh Guru Sekumpul berkenaan dengan Nur Muhammad dengan uraian-uraian ulama terdahulu tampaknya tidak jauh berbeda sebagaimana pandangan umum para sufi dalam melihat Nur Muhammad sebagai yang terawal diciptakan dan kemudiannya menjadi sumber dari segala penciptaan.
Di samping itu, menurut Guru Sekumpul maqam Nur Muhammad adalah maqam paling tinggi dari pencarian dan pendakian sufi menuju makrifah kepada Allah, tiada lagi maqam atau stasiun paling tinggi sesudah ini. Kesimpulannya, berbahagialah orang-orang yang dapat menyandingkan penyatuan sumber asal mula penciptaannya dalam satu harmoni, yakni Nur Muhammad, sebab ia berada pada satu kedudukan yang tinggi dan terbukanya segala hijab baca selanjutnya..
Dalam kitab Hikayat Nur Muhammad diceritakan bahwa tubuh manusia (anak Adam) mengandungi tiga unsur, yakni jasad, hati dan roh. Di dalam roh terdapat hakikat, di dalam hakikat tersimpan rahasia, rahasia itulah yang dinamakan makrifah Allah. Di dalam makrifah pula ada zat yang tidak menyerupai sesuatu pun. Rahasia atau makrifah Allah ini dinamakan Insan Kamil. Insan Kamil dijadikan dari Nur yang melimpah dari zat Haqq Ta’ala.
Menurut riwayat, sumber cerita tentang kejadian Nur Muhammad ini bermula dari biografi Nabi Muhammad yang ditulis oleh Ibnu Ishaq (sejarawan Islam). Dalam biografi tersebut, Ibnu Ishaq ada mencatat riwayat yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan Nur Muhammad dan Nur itu telah diwarisi melalui generasi nabi-nabi hingga ia sampai kepada Abdullah bin Abdul Muthalib dan turun kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian terdapat sejumlah hadis yang menerangkan tentang Nur tersebut, antaranya, “sesungguhnya yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah cahaya-ku (Nur Muhammad)………”. Beragam pandangan terhadap hadis ini, ada yang menyatakan maudhu’ (tertolak), dhaif (lemah), bersumber dari falsafah Yunani, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa riwayat tersebut boleh diterima karenanya sanadnya bersambung.
Hadis tersebut cukup panjang matannya dan diringkas sebagai berikut: “Dan telah meriwayatkan oleh Abdul Razak dengan sanadnya dari Jabir bin Abdullah ra, beliau berkata: “Ya Rasulullah, demi bapaku, engkau dan ibuku, khabarkanlah daku berkenaan awal-awal sesuatu yang Allah telah ciptakan sebelum sesuatu! Bersabda Nabi Saw: “Ya Jabir, sesungguhnya Allah menciptakan sebelum sesuatu, Nur Nabi-mu daripada Nur-Nya’. Maka jadilah Nur tersebut berkeliling dengan Qudrat-Nya sekira-kira yang dihendaki Allah. Padahal tiada pada waktu itu lagi sesuatu pun; tidak ada lauh mahfuzh, qalam, sorga, neraka, Malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin dan manusia; tiada apa-apa yang diciptakan, kecuali Nur ini.
Dari nur inilah kemudian diciptakan-Nya qalam, lauh mahfuzh dan Arsy. Allah kemudian memerintahkan qalam untuk menulis, dan qalam bertanya, “Ya Allah, apa yang harus saya tulis?” Allah berfirman: “Tulislah La ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Atas perintah itu qalam berseru: “Oh, betapa sebuah nama yang indah dan agung Muhammad itu, bahwa dia disebut bersama Asma-Mu yang Suci, ya Allah.” Allah kemudian berkata, “Wahai qalam, jagalah kelakuanmu ! Nama ini adalah nama kekasih-Ku, dari Nur-nya Aku menciptakan arsy, qalam dan lauh mahfuzh; kamu, juga diciptakan dari Nur-nya. Jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan apa pun.” Ketika Allah telah mengatakan kalimat tersebut, qalam itu terbelah dua karena takutnya akan Allah dan tempat dari mana kata-katanya tadi keluar menjadi tertutup, sehingga sampai dengan hari ini ujung nya tetap terbelah dua dan tersumbat, sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia ilahiah yang agung. Maka, jangan seorangpun gagal dalam memuliakan dan menghormati Nabi Suci, atau menjadi lalai dalam mengikuti contohnya (Nabi) yang cemerlang, atau membangkang dan meninggalkan kebiasaan mulia yang diajarkannya kepada kita.………dan seterusnya.
Bagaimana penjelasan Guru Sekumpul tentang Nur Muhammad tersebut? Secara ringkas penjelasan beliau sebagaimana konten materi pengajian yang bertemakan tentang ‘Kesempurnaan’ (penjelasan ini bahkan beliau ulang-ulang tidak kurang dari tiga kali) boleh diringkaskan sebagai berikut:
Beliau memulai penjelasannya dengan ungkapan yang sangat dikenal dalam dunia tasawuf, di mana untuk mengenal Tuhan seseorang harus terlebih dahulu mengenal akan dirinya. Maksudnya, untuk sampai kepada pengenalan terhadap Tuhan, menurut Guru Sekumpul haruslah terlebih dahulu dipahami dua hal. Pertama, ia harus terlebih dahulu mengenal asal mula akan kejadian dirinya sendiri, dari mana, di mana dan bagaimana ia dijadikan? Kedua, ia harus terlebih dahulu mengetahui apa sesuatu yang mula-mula dijadikan oleh Allah Swt. Kedua perkara di atas menjadi prasyarat kesempurnaan bagi para penuntut (salik) dalam mengenal (makrifah) kepada Allah.
Adapun yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah Nur Muhammad Saw yang kemudiannya dari Nur Muhammad inilah Allah jadikan roh dan jasad alam semesta. Bermula dari Nur Muhammad inilah maka sekalian roh (dan roh manusia) diciptakan Allah sedangkan jasad manusia diciptakan mengikut kepada dan dari jasad Nabi Adam as. Karena itu, Nabi Muhammad Saw adalah ‘nenek moyang roh’ sedangkan Nabi Adam as adalah ‘nenek moyang jasad’. Hakikat dari penciptaan Adam as sendiri adalah berasal dari tanah, tanah berasal dari air, air berasal dari angin, angin berasal dari api, dan api itu sendiri berasal dari Nur Muhammad. Sehingga pada prinsipnya roh manusia diciptakan berasal dari Nur Muhammad dan jasad atau tubuh manusia pun hakikatnya berasal dari Nur Muhammad. Jadilah kemudian ‘cahaya di atas cahaya’ (QS. An-Nuur 35), di mana roh yang mengandung Nur Muhammad ditiupkan kepada jasad yang juga mengandung Nur Muhammad. Bertemu dan meleburlah kemudian roh dan jasad yang berisikan Nur Muhammad ke dalam hakikat Nur Muhammad yang sebenarnya. Tersebab bersumber pada satu wujud dan nama yang sama, maka roh dan jasad tersebut haruslah disatukan dengan mesra menuju kepada pengenalan Yang Maha Mutlak, Zat Wajibul Wujud yang memberi cahaya kepada langit dan bumi, dan yang semula menciptakan, sebagaimana mesranya hubungan antara air dan tumbuhan, di mana ada air di situ ada tumbuhan, dan dengan airlah segala makhluk dihidupkan (QS. Al-Anbiya 30). Pengenalan terhadap hakikat Nur Muhammad inilah maqam atau stasiun yang terakhir dari pencarian akan makrifah kepada Allah, Martabat Nur Muhammad inilah martabat yang paling tinggi, dan pengenalan akan Nur Muhammad inilah yang menjadi ‘kesempurnaan ilmu atau ilmu yang sempurna’.
Menarik untuk mengkaji ulang penjelasan Guru Sekumpul di atas dengan membandingkannya kepada penjelasan tokoh-tokoh tasawuf yang juga membahas dan menyinggung tentang wacana ini.
Al-Hallaj yang mencetuskan teori hulul misalnya menyatakan bahwa Nur Muhammad mempunyai dua bentuk, yakni Nabi Muhammad yang dilahirkan dan menjadi cahaya rahmat bagi alam “tidaklah engkau diutus wahai (Muhammad Rasulullah Saw) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam” (martabat al-a’yanu’l Kharijiyyah) dan yang berbentuk Nur (martabat a’yanu’l Thabitah). Nur Muhammad adalah cahaya semula yang melewati dari Nabi Adam ke nabi yang lain bahkan berlanjut kepada para imam maupun wali; cahaya melindungi mereka dari perbuatan dosa (maksum); dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tentang rahasia-rahasia Illahi. Allah telah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam as. Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan makhluk lainnya, bahwa: “Inilah makhluk Allah yang paling mulia”. Oleh itu, harus dibedakan antara konsep Nur (Muhammad) sebagai manusia biasa (seorang Nabi) dan Nur Muhammad secara dimensi spiritual yang tidak dapat digambarkan dalam dimensi fisik dan realiti.
Menurut sufi, Muhyiddin Ibn Arabi, Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melalui Nur ini pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada semua nabi, tetapi hanya kepada Ruh Muhammad saja diberikan jawami al-qalim (firman universal).
Sedangkan menurut pencetus teori ‘insan kamil’, Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428 M) dalam karyanya, al-Insan al-Kamil fî Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Mengetahui Allah Sejak Awal hingga Akhirnya), menyatakan bahwa Nur Muhammad memiliki banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh dan malak apabila dikaitkan dengan ketinggiannya. Tidak ada kekuasaan makhluk yang melebihinya, semuanya tunduk mengitarinya, karena ia kutub dari segenap malak. Ia disebut al-Haqq al Makhluq bih, (al-Haqq sebagai alat pencipta), hanya Allah yang tahu hakikatnya secara pasti. Dia disebut al-Qalam al-A’la (pena tertinggi) dan al-Aql al-Awal (akal pertama) karena wadah pengetahuan Tuhan terhadap alam maujud, dan Tuhanlah yang menuangkan sebagian pengetahuannya kepada makhluk. Adapun disebut al-Ruh al-Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada kaitannya dengan ruh al-Quds (ruh Tuhan), al-Amin (ruh yang jujur) adalah karena ia adalah perbendaharaan ilmu tuhan dan dapat dipercayai-Nya. Oleh itu, menurut Al-Jili, lokus tajalli al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak sebelum alam ini ada, ia bersifat qadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga dalam bentuk nabi penutup (khatamun nabiyyin), Muhammad Saw.
Banyak lagi penjelasan dan pembahasan tentang Nur Muhammad dimaksud. Karena, memang sejak awal kedatangan dan perkembangan Islam di ‘Bumi Nusantara’, wacana Nur Muhammad dalam berbagai konteksnya sehingga sekarang, telah menarik perhatian umat Islam. Hal ini paling tidak didukung oleh tiga faktor.
Pertama, terlihat dari banyaknya salinan yang beredar pada masa itu berkenaan dengan ‘Hikayat Nur Muhammad’ Misalnya, Hikayat Nur Muhammad naskah Betawi yang disalin pada tahun 1668 M oleh Ahmad Syamsuddin Syah. Menurut Ali Ahmad (2005) sehingga sekarang, sekurang-kurangnya terdapat tujuh versi Hikayat Nur Muhammad.
Kedua, apresiasi terhadap konsep Nur Muhammad telah mendorong lahirnya karya klasik ulama Nusantara yang secara khusus berisikan pembahasan tentang teori ini. Antaranya adalah kitab Asrar al-Insan fi Makrifah al-Ruh wa al-Rahman karya Nuruddin al-Raniri (Aceh), tiga kitab karangan Hamzah Fansuri (Barus-Aceh); Asrar al-‘Arifin, Syarab al-‘Asyiqin, dan al-Muntahi, serta Nur al-Daqa’iq oleh Syamsuddin al-Sumaterani (Pasai). Dalam kitab Asrar al-Insan dijelaskan bahwa Allah menjadikan Nur Muhammad dari tajalli (manifestasi) sifat Jamal-Nya dan Jalal-Nya, maka jadilah Nur Muhammad itu khalifah di langit dan di bumi; Nur Muhammad adalah asal segala kejadian di langit dan di bumi. Di dalam kitab Asrar al-’Arifin dibincangkan teori wahdah al-wujud yang semula diperkenalkan oleh Abdullah Arif dalam Bahr al-Lahut dan Ibnu Arabi, kemudian dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri melalui teori Martabat Tujuh dalam kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Kemudian, dalam al-Muntahi, Hamzah menyatakan bahwa wujud itu satu yaitu wujud Allah yang mutlak. Wujud itu bertajalli dalam dua martabat; ahadiyah dan wahidiyah. Dalam kitab Nur al-Daqa’iq juga dibahas tentang wujudiyah dan martabat tujuh.
Variasi teori Nur Muhammad dalam bentuk martabat tujuh boleh didapati pembahasannya dalam beberapa kitab yang ditulis oleh ulama Melayu Nusantara, antaranya adalah dibahas dalam kitab Siyarus Salikin yang dikarang oleh Syekh Abdul Shamad al-Palimbani; kitab Manhalus Syafi (Uthman el-Muhammady, 2003) yang dikarang oleh Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani; Pengenalan terhadap Ajaran Martabat Tujuh yang dikarang atau dinukilkan kepada Syekh Abdul Muhyi Pamijahan; dan kitab al-Durr al-Nafis yang di karang oleh Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Oleh itu, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dengan kitabnya Al-Durr al-Nafis ditegaskan oleh Wan Mohd Shagir Abdullah (2000) sebagai salah seorang ulama Banjar penganjur ajaran tasawuf Martabat Tujuh di Nusantara.
Dalam teori martabat tujuh dipahami bahwa dunia manusia merupakan dunia perubahan dan pergantian, tidak ada sesuatu yang tetap di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah, memudar, dan setelah itu akan mati. Oleh karena itulah, manusia ingin berusaha mengungkap hakikat dirinya agar dapat hidup kekal seperti Yang Menciptakannya. Untuk mengungkap hakikat dirinya, manusia memerlukan seperangkat pengetahuan batin yang hanya dapat dilihat dengan mata hati yang ada dalam sanubarinya. Seperangkat pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu ma‘rifatullah. Ilmu ma’rifatullah merupakan suatu pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah. Ilmu ma‘rifatullah terbahagi menjadi dua macam, yaitu ilmu ‘makrifat tanzih’ (transeden) dan ‘ilmu makrifat tasybih’ (imanen). Tuhan menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut martabat tanzih (la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata, tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dengan martabat ketujuh disebut martabat tasybih (ta‘ayyun atau martabat nyata, terinderawi). Yakni, martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Wahidiyyah (ke-’ada’-an asma yang meliputi hakikat realitas keesaan); Keempat, martabat Alam Arwah; martabat Alam Mitsal; martabat Alam Ajsam (alam benda); dan martabat Alam Insan.
Ketujuh proses perwujudan di atas, keberadaannya terjadi bukan melalui penciptaan, tetapi melalui emanasi (pancaran). Untuk itulah, antara martabat tanzih (transenden atau la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata) dengan martabat tasybih (imanen atau ta‘ayyun atau martabat nyata) secara lahiriah keduanya berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama. Seorang Sâlik yang telah mengetahui kedua ilmu ma‘rifatullah, baik Ma‘rifah Tanzih (ilmu yang tak terinderawi) maupun Ma‘rifah Tasybih (ilmu yang terinderawi), ia akan sampai pada tataran tertinggi, yaitu tataran rasa bersatunya manusia dengan Tuhan atau dikenal dengan sebutan Wahdatul-Wujûd. Huaian tersebut dapat dianalogikan dengan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara lahiriah merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada hakikatnya ombak itu berasal dari air laut sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah.
Ketiga, di Nusantara, Hikayat Nur Muhammad merupakan teks yang populer sekitar abad ke-14 M. Ini dibuktikan dengan tersebar luasnya kitab yang berjudul Tarjamah Maulid al-Mustafa bertahun 1351 M (Ali Ahmad, 2005), dan disinggungnya wacana ini dalam kitab Taj al-Muluk, Qishah al-Anbiya, Bustan al-Salatin, atau Hikayat Ali Hanafiah.
Membandingkan apa-apa yang digambarkan oleh Guru Sekumpul berkenaan dengan Nur Muhammad dengan uraian-uraian ulama terdahulu tampaknya tidak jauh berbeda sebagaimana pandangan umum para sufi dalam melihat Nur Muhammad sebagai yang terawal diciptakan dan kemudiannya menjadi sumber dari segala penciptaan.
Di samping itu, menurut Guru Sekumpul maqam Nur Muhammad adalah maqam paling tinggi dari pencarian dan pendakian sufi menuju makrifah kepada Allah, tiada lagi maqam atau stasiun paling tinggi sesudah ini. Kesimpulannya, berbahagialah orang-orang yang dapat menyandingkan penyatuan sumber asal mula penciptaannya dalam satu harmoni, yakni Nur Muhammad, sebab ia berada pada satu kedudukan yang tinggi dan terbukanya segala hijab baca selanjutnya..
Titik sentral pemikiran Hamka dalam pendidikan Islam adalah “fitrah pendidikan tidak saja pada penalaran semata, tetapi juga akhlakulkarimah”. Pendidikan Menurut Hamka Ada tiga term yang digunakan para ahli untuk menunjukkan istilah pendidikan Islam:
1. Ta’lim:Aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik.
2. Tarbiyah:Pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi.
3. Ta’dib: Penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik.
Dari ketiganya Hamka lebih condong dalam istilah Tarbiyah, karena menurutnya tarbiyah kelihatannya mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan Islam, baik vertikal maupun horizontal (hubungan ketuhanan dan kemanusiaan).Adapun prosesnya adalah pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Pandangan Hamka mengenai Tarbiyah:
1) Menjaga dan memelihara per-tumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk mencapai kedewasaan.
Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya).
2) Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin.
3) Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan diri peserta didik.
Sifat seorang pendidik menurut hamka:
1. Kecakapan
2. Akhlak
3. Skill yang baik
Kemudian metode dan materi pendidikan Islam harus disesuaikan dengan kebutuhan anak didik dan dinamika zaman.Materi pendidikan setidaknya mencakup ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu umum, ketrampilan, dan kesenian.Kemudian, menurut Hamka, model pendidikan yang ideal adalah model pesantren, yang mana memiliki tempat belajar, masjid tempat melaksanakan ibadah, dan asrama. Penekanan pentingnya asrama, agar anak didik bias setiap saat melakukan diskusi, diawasi, dan dibimbing secara intensif.
Seorang Pendidik Menurut Hamka
1. Objektif
2. Menjaga akhlak
3. Menyampaikan seluruh ilmu
4. Menghormati keberadaan peserta didik
5. Memberi pengetahuan sesuai dengan kemampuan penerima dan perkembangan jiwa peserta didik.
Hamka dalam memaparkan persoalan pendidikan, selalu mencakup peran keluarga, pendidik dan lingkungan sosial.Peran ini dituntut harmonis. Tidak ada yang lalai antara satu dengan yang lain sehingga proses pendidikan bisa berjalan harmonis juga.
Tiga Aspek Penting bagi Peserta Didik:
1. Jiwa (al-qalb)
2. Jasad (al-jism)
3. Akal (al-'aql)
Aspek paling penting dari ke-3 nya menurut beliau adalah“Masalah Kejiwaan”.Dimana pendidikan “Akhlakulkarimah”terletak di sini.Hamka menekankan, akhlakulkarimah pendidik memang harus terjaga sebelum memberikan pendidikan kepada peserta didik.
Makna pendidikan dan pengajaranmenurut Hamka:
1. Pendidikan Islam merupakan: serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Oleh kerena itu nilai-nilai yang ditanamkan melalui proses pendidikan haruslah diambil dan bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam al-qur’an dan hadist nabi . Seperti terdapat dalam surat al-imron ayat 110:
Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”
Pengajaran Islam merupakan: upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan. Dalam mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya membedakan makna pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi
Secara esensial ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut (pendidikan dan pengajaran) merupakan suatu sistem yang saling berhubungan erat, karena setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.
Dengan perpaduan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Pendidikan menurut hamka
Menurut Hamka, proses pendidikan tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat material belaka. Pendekatan yang demikian itu tidak akan dapat membawa manusia kepada kepuasan batin (rohani). Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat mengintegralkan potensi fitrah-Nya yang tinggi dengan potensi akal pikiran, perasaan dan sifat-sifat kemanusiaannya yang lain secara serasi dan seimbang.
Melalui integrasi kedua unsur potensi tersebut, maka peserta didik akan mampu mengetahui rahasia yang tertulis (Al-Qur’an dan Hadis) dan fenomena alam semesta yang tak tertulis (QS. Faathir: 28).
Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama[1258]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun
Melalui pendekatan ini manusia (peserta didik) akan dapat menyingkap rahasia keagungan dan kebesaran-Nya, sekaligus untuk mempertebal keimanannya kepada Allah. Namun demikian, pendidikan bukan berarti hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat metafisik belaka.Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh, manusia juga memerlukan pendidikan yang bersifat material. Hanya melalui pendekatan kedua proses tersebut, manusia akan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya.
Hamka memaknai manusia sebagai khalifah fil-ardh, sebagai makhluk yang telah diberikan Allah potensi akal sebagai sarana untuk mengetahui hukum-Nya.
Menyingkap rahasia alam dan memanfaatkannya bagi kemaslahatan umat manusia.Menurut Hamka, melalui akalnya manusia dapat menciptakan peradabannya dengan lebih baik. Fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Ar-ruum ayat 30 menegaskan:
Artinya: Hadapkan dengan seluruh dirimu itu kepada Agama (islam) sebagaimana engkau adalah hanif (secara kodrat memihak pada kebenaran): itulah fitroh Tuhan yang telah memfitrohkan (mempotensikan) manusia padanya.”
Disamping itu, fungsi pendidikan bukan saja sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik, akan tetapi juga proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan di mana ia berada. Secara inheren, pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik untuk menyatakan pikiran serta mengembangkan totalitas dirinya. Dengan kata lain pendidikan (Islam) merupakan proses transmisi ajaran Islam dari generasi ke generasi berikutnya. Proses tersebut melibatkan tidak saja aspek kognitif pengetahuan tentang ajaran Islam, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik (menyangkut bagaimana sikap dan pengamalan ajaran Islam secara kaffah).
Hamka juga menekankan pentingnya pendidikan jasmani dan rohani (jiwa yang diwarnai oleh roh agama dan dinamika intelektual) yang seimbang. Integralitas kedua aspek tersebut akan membantu keseimbangan dan kesempurnaan fitrah peserta didik. Hal ini disebabkan karena esensi pendidikan Islam berupaya melatih perasaan peserta didik sesuai dengan fitrah-Nya yang dianugrehkan kepada setiap manusia, sehingga akan tercermin dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap semua jenis dan bentuk pengetahuan dipengaruhi nilai-nilai ajaran Islam.
Menurut Hamka, untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kemestian untuk diajarkan, meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian, dalam dataran operasional prosesnya tidak hanya dilakukan sebatas transfer of knowledge, akan tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu sikap yang baik (akhlak al-karimah), sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya.
Lembaga pendidikan agama yang tidak mampu membina dan membentuk peserta didik berkepribadian paripuma, samalah kedudukannya dengan lembaga pendidikan umum yang sama sekali tidak mengajarkan agama, sebagaimana yang dikembangkan pada lembaga pendidikan kolonial. Hal ini disebabkan, karena secara epistemologi, pada dasarnya ilmu pengetahuan memiliki nilai murni yang bermuara kepada ajaran Islam yang hanif. Pandangannya di atas merupakan kritik terhadap proses pendidikan umat Islam waktu itu. Di mana banyak lembaga pendidikan yang mengajarkan agama, akan tetapi tidak mampu ‘mendidikkan’ agama pada pribadi peserta didiknya. Akibat proses yang demikian, mereka memang berhasil melahirkan out put yang memiliki wawasan keagamaan yang luas, dan fasih berbahasa Arab, akan tetapi memiliki budi pekerti yang masih rendah.
Tiga Institusi Yang Bertanggungjawab Dalam Pelaksanaan Pendidikan:
1. Lembaga pendidikan informal (keluarga)
2. Lembaga pendidikan nonformal (lingkungan)
3. Lembaga pendidikan formal (Sekolah)
Lembaga pendidikan informal merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama, sebagai jembatan dan penunjang bagi pelaksanaan pendidikan selanjutnya (formal dan nonformal).Ketiga lembaga pendidikan seyogyanya bersinergi dan saling mengisi untuk membentuk integritas kepribadian anak yang equilibrum.
Tujuan Pendidikan Islam Menurut Hamka
“Penghambaan dan kekhalifahan manusia”, yaitu hubungan pemeliharaan manusia terhadap makhluk Allah lainnya, sebagai perwujudan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis.
Menurutnya karena salah satu bukti gagalnya pendidikan formal dalam menata moral dan etika terlihat dari munculnya kenakalan seperti tawuran.
DAFTAR PUSTAKA
Yasin fatah. 2008.dimensi-dimensi pendidikan islam, Malang: UIN-Malang Press.
hamka/http://www.scribd.com/doc/6248627/PENDIDIKAN-MENURUT-HAMKA
http://rumahmimpi.blogspot.com/2007/06/membaca-hamka-membaca-gelora-cinta.html
http://www.averroes.or.id/opinion/buya-hamka-jejak-pemikiran-dan-teladan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah baca selanjutnya..
1. Ta’lim:Aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik.
2. Tarbiyah:Pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi.
3. Ta’dib: Penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik.
Dari ketiganya Hamka lebih condong dalam istilah Tarbiyah, karena menurutnya tarbiyah kelihatannya mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan Islam, baik vertikal maupun horizontal (hubungan ketuhanan dan kemanusiaan).Adapun prosesnya adalah pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Pandangan Hamka mengenai Tarbiyah:
1) Menjaga dan memelihara per-tumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk mencapai kedewasaan.
Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya).
2) Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin.
3) Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan diri peserta didik.
Sifat seorang pendidik menurut hamka:
1. Kecakapan
2. Akhlak
3. Skill yang baik
Kemudian metode dan materi pendidikan Islam harus disesuaikan dengan kebutuhan anak didik dan dinamika zaman.Materi pendidikan setidaknya mencakup ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu umum, ketrampilan, dan kesenian.Kemudian, menurut Hamka, model pendidikan yang ideal adalah model pesantren, yang mana memiliki tempat belajar, masjid tempat melaksanakan ibadah, dan asrama. Penekanan pentingnya asrama, agar anak didik bias setiap saat melakukan diskusi, diawasi, dan dibimbing secara intensif.
Seorang Pendidik Menurut Hamka
1. Objektif
2. Menjaga akhlak
3. Menyampaikan seluruh ilmu
4. Menghormati keberadaan peserta didik
5. Memberi pengetahuan sesuai dengan kemampuan penerima dan perkembangan jiwa peserta didik.
Hamka dalam memaparkan persoalan pendidikan, selalu mencakup peran keluarga, pendidik dan lingkungan sosial.Peran ini dituntut harmonis. Tidak ada yang lalai antara satu dengan yang lain sehingga proses pendidikan bisa berjalan harmonis juga.
Tiga Aspek Penting bagi Peserta Didik:
1. Jiwa (al-qalb)
2. Jasad (al-jism)
3. Akal (al-'aql)
Aspek paling penting dari ke-3 nya menurut beliau adalah“Masalah Kejiwaan”.Dimana pendidikan “Akhlakulkarimah”terletak di sini.Hamka menekankan, akhlakulkarimah pendidik memang harus terjaga sebelum memberikan pendidikan kepada peserta didik.
Makna pendidikan dan pengajaranmenurut Hamka:
1. Pendidikan Islam merupakan: serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Oleh kerena itu nilai-nilai yang ditanamkan melalui proses pendidikan haruslah diambil dan bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam al-qur’an dan hadist nabi . Seperti terdapat dalam surat al-imron ayat 110:
Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”
Pengajaran Islam merupakan: upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan. Dalam mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya membedakan makna pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi
Secara esensial ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut (pendidikan dan pengajaran) merupakan suatu sistem yang saling berhubungan erat, karena setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.
Dengan perpaduan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Pendidikan menurut hamka
Menurut Hamka, proses pendidikan tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat material belaka. Pendekatan yang demikian itu tidak akan dapat membawa manusia kepada kepuasan batin (rohani). Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat mengintegralkan potensi fitrah-Nya yang tinggi dengan potensi akal pikiran, perasaan dan sifat-sifat kemanusiaannya yang lain secara serasi dan seimbang.
Melalui integrasi kedua unsur potensi tersebut, maka peserta didik akan mampu mengetahui rahasia yang tertulis (Al-Qur’an dan Hadis) dan fenomena alam semesta yang tak tertulis (QS. Faathir: 28).
Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama[1258]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun
Melalui pendekatan ini manusia (peserta didik) akan dapat menyingkap rahasia keagungan dan kebesaran-Nya, sekaligus untuk mempertebal keimanannya kepada Allah. Namun demikian, pendidikan bukan berarti hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat metafisik belaka.Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh, manusia juga memerlukan pendidikan yang bersifat material. Hanya melalui pendekatan kedua proses tersebut, manusia akan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya.
Hamka memaknai manusia sebagai khalifah fil-ardh, sebagai makhluk yang telah diberikan Allah potensi akal sebagai sarana untuk mengetahui hukum-Nya.
Menyingkap rahasia alam dan memanfaatkannya bagi kemaslahatan umat manusia.Menurut Hamka, melalui akalnya manusia dapat menciptakan peradabannya dengan lebih baik. Fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Ar-ruum ayat 30 menegaskan:
Artinya: Hadapkan dengan seluruh dirimu itu kepada Agama (islam) sebagaimana engkau adalah hanif (secara kodrat memihak pada kebenaran): itulah fitroh Tuhan yang telah memfitrohkan (mempotensikan) manusia padanya.”
Disamping itu, fungsi pendidikan bukan saja sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik, akan tetapi juga proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan di mana ia berada. Secara inheren, pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik untuk menyatakan pikiran serta mengembangkan totalitas dirinya. Dengan kata lain pendidikan (Islam) merupakan proses transmisi ajaran Islam dari generasi ke generasi berikutnya. Proses tersebut melibatkan tidak saja aspek kognitif pengetahuan tentang ajaran Islam, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik (menyangkut bagaimana sikap dan pengamalan ajaran Islam secara kaffah).
Hamka juga menekankan pentingnya pendidikan jasmani dan rohani (jiwa yang diwarnai oleh roh agama dan dinamika intelektual) yang seimbang. Integralitas kedua aspek tersebut akan membantu keseimbangan dan kesempurnaan fitrah peserta didik. Hal ini disebabkan karena esensi pendidikan Islam berupaya melatih perasaan peserta didik sesuai dengan fitrah-Nya yang dianugrehkan kepada setiap manusia, sehingga akan tercermin dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap semua jenis dan bentuk pengetahuan dipengaruhi nilai-nilai ajaran Islam.
Menurut Hamka, untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kemestian untuk diajarkan, meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian, dalam dataran operasional prosesnya tidak hanya dilakukan sebatas transfer of knowledge, akan tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu sikap yang baik (akhlak al-karimah), sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya.
Lembaga pendidikan agama yang tidak mampu membina dan membentuk peserta didik berkepribadian paripuma, samalah kedudukannya dengan lembaga pendidikan umum yang sama sekali tidak mengajarkan agama, sebagaimana yang dikembangkan pada lembaga pendidikan kolonial. Hal ini disebabkan, karena secara epistemologi, pada dasarnya ilmu pengetahuan memiliki nilai murni yang bermuara kepada ajaran Islam yang hanif. Pandangannya di atas merupakan kritik terhadap proses pendidikan umat Islam waktu itu. Di mana banyak lembaga pendidikan yang mengajarkan agama, akan tetapi tidak mampu ‘mendidikkan’ agama pada pribadi peserta didiknya. Akibat proses yang demikian, mereka memang berhasil melahirkan out put yang memiliki wawasan keagamaan yang luas, dan fasih berbahasa Arab, akan tetapi memiliki budi pekerti yang masih rendah.
Tiga Institusi Yang Bertanggungjawab Dalam Pelaksanaan Pendidikan:
1. Lembaga pendidikan informal (keluarga)
2. Lembaga pendidikan nonformal (lingkungan)
3. Lembaga pendidikan formal (Sekolah)
Lembaga pendidikan informal merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama, sebagai jembatan dan penunjang bagi pelaksanaan pendidikan selanjutnya (formal dan nonformal).Ketiga lembaga pendidikan seyogyanya bersinergi dan saling mengisi untuk membentuk integritas kepribadian anak yang equilibrum.
Tujuan Pendidikan Islam Menurut Hamka
“Penghambaan dan kekhalifahan manusia”, yaitu hubungan pemeliharaan manusia terhadap makhluk Allah lainnya, sebagai perwujudan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis.
Menurutnya karena salah satu bukti gagalnya pendidikan formal dalam menata moral dan etika terlihat dari munculnya kenakalan seperti tawuran.
DAFTAR PUSTAKA
Yasin fatah. 2008.dimensi-dimensi pendidikan islam, Malang: UIN-Malang Press.
hamka/http://www.scribd.com/doc/6248627/PENDIDIKAN-MENURUT-HAMKA
http://rumahmimpi.blogspot.com/2007/06/membaca-hamka-membaca-gelora-cinta.html
http://www.averroes.or.id/opinion/buya-hamka-jejak-pemikiran-dan-teladan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah baca selanjutnya..
Rabu, 16 Maret 2011
Kenapa Harus Wanita Shalihah?
Terkadang orang heran dan bertanya, kenapa harus mereka?
Yang bajunya panjang, tertutup rapat, dan malu-malu kalau berjalan..
Aku menjawab.. Karena mereka, lebih rela bangun pagi menyiapkan sarapan buat sang suami dibanding tidur bersama mimpi yang kebanyakan dilakukan oleh perempuan lain saat ini..
Ada juga yang bertanya, mengapa harus mereka?
Yang sama laki-laki-pun tak mau menyentuh, yang kalau berbicara ditundukkan pandangannya.. Bagaimana mereka bisa berbaur…
Aku menjawab.. Tahukah kalian.. bahwa hati mereka selalu terpaut kepada yang lemah, pada pengemis di jalanan, pada perempuan-perempuan renta yang tak lagi kuat menata hidup. Hidup mereka adalah sebuah totalitas untuk berkarya di hadapan-Nya.. Bersama dengan siapapun selama mendatangkan manfaat adalah kepribadian mereka.. Untuk itu, aku menjamin mereka kepadamu, bahwa kau takkan rugi memiliki mereka, kau takkan rugi dengan segala kesederhanaan, dan kau takkan rugi dengan semua kepolosan yang mereka miliki.. Hati yang bening dan jernih dari mereka telah membuat mereka menjadi seorang manusia sosial yang lebih utuh dari wanita di manapun..
Sering juga kudengar.. Mengapa harus mereka?
Yang tidak pernah mau punya cinta sebelum akad itu berlangsung, yang menghindar ketika sms-sms pengganggu dari para lelaki mulai berdatangan, yang selalu punya sejuta alasan untuk tidak berpacaran.. bagaimana mereka bisa romantis? bagaimana mereka punya pengalaman untuk menjaga cinta, apalagi jatuh cinta?
Aku menjawab..
Tahukah kamu.. bahwa cinta itu fitrah, karena ia fitrah maka kebeningannya harus selalu kita jaga. Fitrahnya cinta akan begitu mudah mengantarkan seseorang untuk memiliki kekuatan untuk berkorban, keberanian untuk melangkah, bahkan ketulusan untuk memberikan semua perhatian.
Namun, ada satu hal yang membedakan antara mereka dan wanita-wanita lainnya.. Mereka memiliki cinta yang suci untuk-Nya.. Mereka mencintaimu karena-Nya, berkorban untukmu karena-Nya, memberikan segenap kasihnya padamu juga karena-Nya… Itulah yang membedakan mereka..
Tak pernah sedetikpun mereka berpikir, bahwa mencintaimu karena fisikmu, mencintaimu karena kekayaanmu, mencintaimu karena keturunan keluargamu.. Cinta mereka murni.. bening.. suci.. hanya karena-Nya..
Tak pernah sedetikpun mereka berpikir, bahwa mencintaimu karena fisikmu, mencintaimu karena kekayaanmu, mencintaimu karena keturunan keluargamu.. Cinta mereka murni.. bening.. suci.. hanya karena-Nya..
Kebeningan inilah yang membuat mereka berbeda… Mereka menjadi anggun, seperti permata-permata surga yang kemilaunya akan memberikan cahaya bagi dunia. Ketulusan dan kemurnian cinta mereka akan membuatmu menjadi lelaki paling bahagia..
Sering juga banyak yang bertanya.. mengapa harus mereka?
Yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca Al-Qur’an dibanding ke salon, yang lebih sering menghabiskan harinya dari kajian ke kajian dibanding jalan-jalan ke mall, yang sebagian besar waktu tertunaikan untuk hajat orang banyak, untuk dakwah, untuk perubahan bagi lingkungannya, dibanding kumpul-kumpul bersama teman sebaya mereka sambil berdiskusi yang tak penting. Bagaimana mereka merawat diri mereka? bagaimana mereka bisa menjadi wanita modern?
Aku menjawab..
Tahukah kamu, bahwa dengan seringnya mereka membaca al Qur’an maka memudahkan hati mereka untuk jauh dari dunia.. Jiwa yang tak pernah terpaut dengan dunia akan menghabiskan harinya untuk memperdalam cintanya pada Allah.. Mereka akan menjadi orang-orang yang lapang jiwanya, meski materi tak mencukupi mereka, mereka menjadi orang yang paling rela menerima pemberian suami, apapun bentuknya, karena dunia bukanlah tujuannya. Mereka akan dengan mudah menyisihkan sebagian rezekinya untuk kepentingan orang banyak dibanding menghabiskannya untuk diri sendiri. Kesucian ini, hanya akan dimiliki oleh mereka yang terbiasa dengan al Qur’an, terbiasa dengan majelis-majelis ilmu, terbiasa dengan rumah-Nya.
Jangan khawatir soal bagaimana mereka merawat dan menjaga diri… Mereka tahu bagaimana memperlakukan suami dan bagaimana bergaul di dalam sebuah keluarga kecil mereka. Mereka sadar dan memahami bahwa kecantikan fisik penghangat kebahagiaan, kebersihan jiwa dan nurani mereka selalu bersama dengan keinginan yang kuat untuk merawat diri mereka. Lalu apakah yang kau khawatirkan jika mereka telah memiliki semua kecantikan itu?
Dan jangan takut mereka akan ketinggalan zaman. Tahukah kamu bahwa kesehariannya selalu bersama dengan ilmu pengetahuan.. Mereka tangguh menjadi seorang pembelajar, mereka tidak gampang menyerah jika harus terbentur dengan kondisi akademik. Mereka adalah orang-orang yang tahu dengan sikap profesional dan bagaimana menjadi orang-orang yang siap untuk sebuah perubahan. Perubahan bagi mereka adalah sebuah keniscayaan, untuk itu mereka telah siap dan akan selalu siap bertransformasi menjadi wanita-wanita hebat yang akan memberikan senyum bagi dunia.
Dan sering sekali, orang tak puas.. dan terus bertanya.. mengapa harus mereka?
Pada akhirnya, akupun menjawab…
Keagungan, kebeningan, kesucian, dan semua keindahan tentang mereka, takkan mampu kau pahami sebelum kamu menjadi lelaki yang shalih seperti mereka..
Yang pandangannya terjaga.. yang lisannya bijaksana.. yang siap berkeringat untuk mencari nafkah, yang kuat berdiri menjadi seorang imam bagi sang permata mulia, yang tak kenal lelah untuk bersama-sama mengenal-Nya, yang siap membimbing mereka, mengarahkan mereka, hingga meluruskan khilaf mereka…
Kalian yang benar-benar hebat secara fisik, jiwa, dan iman-lah yang akan memiliki mereka. Mereka adalah bidadari-bidadari surga yang turun ke dunia, maka Allah takkan begitu mudah untuk memberikan kepadamu yang tak berarti di mata-Nya… Allah menjaga mereka untuk sosok-sosok hebat yang akan merubah dunia. Menyuruh mereka menunggu dan lebih bersabar agar bisa bersama dengan para syuhada sang penghuni surga… Menahan mereka untuk dipasangkan dengan mereka yang tidurnya adalah dakwah, yang waktunya adalah dakwah, yang kesehariannya tercurahkan untuk dakwah.. sebab mereka adalah wanita-wanita yang menisbahkan hidupnya untuk jalan perjuangan.
Allah mempersiapkan mereka untuk menemani sang pejuang yang sesungguhnya, yang bukan hanya indah lisannya.. namun juga menggetarkan lakunya.. Allah mempersiapkan mereka untuk sang pejuang yang malamnya tak pernah lalai untuk dekat dengan-Nya.. yang siangnya dihabiskan dengan berjuang untuk memperpanjang nafas Islam di bumi-Nya.. Allah mempersiapkan mereka untuk sang pejuang yang cintanya pada Allah melebihi kecintaan mereka kepada dunia.. yang akan rela berkorban, dan meninggalkan dunia selagi Allah tujuannya.. Yang cintanya takkan pernah habis meski semua isi bumi tak lagi berdamai kepadanya.. Allah telah mempersiapkan mereka untuk lelaki-lelaki shalih penghulu surga…
Seberat itukah?
Ya… Takkan mudah.. sebab surga itu tidak bisa diraih dengan hanya bermalas-malasan tanpa ada perjuangan…
baca selanjutnya..
Langganan:
Postingan (Atom)